Seseorang dikatakan sukses mengikuti pelatihan/kursus menjahit apabila ia dapat mengikuti seluruh program pelatihan dengan baik dan benar. Yaitu dapat mempraktikkan tata cara membuat pola, menggunting kain, serasi dan selaras dalam memilih warna kain, dan sebagainya sehingga menjadikan ia seorang yang terampil dalam hal jahit menjahit.
Namun kesuksesan yang hakiki adalah manakala ia dapat memanfaatkan serta meng-optimalkan ilmu dan keterampilan yang ia dapatkan ke dalam kehidupannya sehari-hari pasca “lulus” dari pelatihan. Ia dikatakan sukses manakala ia dapat menghasilkan produk yang baik sehingga banyak orang yang memanfaatkan keterampilannya untuk membuat pakaian.
Alangkah indahnya jika ilustrasi pelatihan/kursus jahit di atas diterapkan dalam kita memaknai Ramadhan ini. Bulan Ramadhan adalah bulan latihan bagi kita umat Islam. Karena di bulan penuh barokah ini kita dilatih menjadi seorang yang ahli berpuasa, ahli shalat malam (tarwih), ahli membaca Al Qur’an (banyak di antara kita dapat mengkhatamkan bacaan Al Qur’an sepanjang Ramadhan), ahli ber-infak dan shodaqoh serta zakat (menunaikan zakat fitrah di akhir Ramadhan jelang Idul Fitri), ahli berbagi untuk sesama, ahli I’tikaf dalam mencari lailatul qodar, ahli berdo’a, banyak mendengarkan kajian Islam (di malam-malam Ramadhan), selalu berupaya menjaga puasa dari hal-hal yang membatalkan atau merusak puasanya (ups…. Saya sedang puasa gak boleh berdusta/berkata jelek), dan kebaikan-kebaikan lainnya sehingga kita menjadi seorang yang “sukses” (berhasil) di bulan Ramadhan ini.
Ibarat kesuksesan kursus jahit di atas, kesuksesan/keberhasilan yang hakiki adalah manakalah kita dapat meneruskan serta mempertahankan amalan yang telah kita peroleh di bulan “pelatihan” ini dalam kehidupan kita di luar bulan Ramadhan.
Dari Syaddan bin Aus ra. berkata bahwa Rasulullah Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang cerdas itu adalah yang menghitung dirinya di dunia sebelum dihitung di hari kiamat. Dan ia beramal untuk masa (kehidupan) sesudah kematiannya. Dan orang yang lemah itu adalah yang mengikuti hawa nafsunya tapi berharap kepada Allah” (HR. Tirmizy dan Beliau menghasankannya)
Sekarang silahkan muhasabah diri kita:
- Di bulan Ramadhan kita dapat berpuasa 1 bulan penuh, di bulan-bulan berikutnya dapatkah kita meneruskan puasa Ramadhan dengan berpuasa 6 di bulan Syawal? Kemudian kita teruskan dengan puasa Nabi Dawud, atas setidak-tidaknya puasa Senin Kamis, atau setidak-tidaknya puasa tiga hari setiap bulan (ayyamul bidh)?
- Di bulan Ramadhan kita dapat melaksanakan qiyamul lail/shalat malam (tarwih) setiap malam, dapatkah kita melakukan hal yang sama (shalat malam) di luar bulan Ramadhan, atau setidak-tidaknya 2-3 kali setiap minggunya?
- Di bulan Ramadhan kita dapat mengkhatamkan tadarus Al Qur’an 30 juz, dapatkah kita melakukan hal yang sama di luar Ramadhan? Atau setidak-tidaknya mengkhatamkan Al Qur’an dalam 2-3 bulan?
- Di bulan Ramadhan kita dapat hadir mengisi waktu-waktu dan hari-hari di masjid untuk shalat berjamaah, mendengarkan kajian yang disampaikan ustadz, I’tikaf, dapatkah kita mempertahankan “tradisi baik” tersebut di luar bulan Ramadhan.
- Di bulan Ramadhan kita dapat menjaga perkataan dan perbuatan untuk kesempurnaan puasa dalam rangka mengharap ridho Allah, dapatkah kita melakukan hal yang sama di luar bulan Ramadhan?
- Di bulan Ramadhan kita dapat memaksimalkan infak fii sabiillah, shodaqoh, zakat, berbagi untuk sesama (fakir, miskin, anak yatim dan lainnya), dapatkah kita terus berbagi untuk sesama di luar Ramadhan?
- Di bulan Ramadhan kita dapat bermuamalah bainan Naas/hablumminannaas (menjaga hubungan dengan sesama manusia) dengan saling menjaga sikap, perbuatan dan perkataan serta saling silaturrahim, mengundang kerabat/dun sanak untuk berbuka bersama, dan lain-lain, dan mengunjungi orang tua/mertua serta kerabat (biasanya mudik jelang lebaran), dapatkah tradisi baik ini kita pertahankan di luar Ramadhan?
Sebagaimana seorang dapat dikatakan “sukses” berhasil melaksanakan ibadah haji dan dikatakan haji mabrur dengan tolak ukur amalan dan kemutawari’an selama melaksanakan haji dan paska pulang ibadah haji. Maka “sukses”/keberhasilan Ramadhan pun juga ditenggarai dengan menjaga amalan di paska Ramadhan.
Ulama terkemuka Ibnu Rajab mengatakan, “Tanda diterimanya suatu amalan kebaikan adalah amalan tersebut dilanjutkan dengan kebaikan. Tanda tidak diterimanya suatu amalan adalah amalan baik malah dilanjutkan dengan maksiat.” (Lathoif Al Ma’arif)
Dengan melanjutkan keberhasilan amal, mari kita terus mencari keridhoan Allah dengan sebagaimana ridhonya Allah bagi hambanya yang meneruskan puasa Ramadhan dengan melaksanakan puasa 6 hari di bulan Syawal. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Marilah kita sukseskan Ramadhan ini untuk kesuksesan Paska Ramadhan dan laksanakan semata-mata mengharap keridhoan Allah Subhanahu Wata’ala….
Selamat berpuasa Saudara-Saudaraku….(M. Ari Sultoni)