Pada era modern dan kecanggihan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia saat ini, banyak upaya manusia untuk mengungkap misteri yang tersembunyi di dunia. Tidak terkecuali para ilmuwan muslim yang berusaha sekuat tenaga dengan mencurahkan pemikiran, tenaga, waktu dan segala potensi yang dimiliki utk membuktikan kebenaran “Nash” Kitabullah dan Sunnah.
Niat dan tujuan mereka mulia yaitu untuk memotivasi kita dalam mentaati syariat Allah dan Rasul jika itu berupa “Amaro” atau perintah dan juga memotivasi kita untuk meninggalkan larangan Allah dan Rasul jika itu nash pengharaman.
Satu persatu dalil-dalil nash tersebut berhasil dibuktikan dengan jawaban-jawaban ilmiah., antara lain: Mengapa Bank Konvensional “Riba” ?, Mengapa Babi “Haram”, Mengapa kita dilarang meniup makanan panas, dan masih banyak yang lainnya.
Namun yang perlu kita pahami bahwa dalam mentaati aturan Allah dan Rasul jangan kita gantungkan “Nilai-nilai Ketaatan” dengan berpatokan pada pembuktian ilmiah “semata”. Pembuktian ilmiah cukup untuk pengetahuan saja. Tidak jarang pembuktian ilmiah cendikiawan muslim juga dibantah dengan pembuktian ilmiah para ilmuwan non muslim.
Sebagai contoh babi yang mengandung unsur jahat yang berbahaya jika dikonsumsi manusia karena mengandung cacing Taenia Solium dan Trichinila Spiralis. Namun secara ilmiah ternyata hewan konsumsi terjahat dan paling berbahaya jika dikonsumsi manusia justru otak sapi malah halal? Sekarang para ilmuwan Barat dan Cina sedang berusaha untuk mencari penetralisir efek negatif cacing-cacing di babi tersebut. Seandainya mereka berhasil bahkan berhasil memusnahkan cacing-cacing tersebut dalam tubuh babi sehingga babi aman dikonsumsi, pertanyaannya: “Apakah terus babi menjadi halal?”.
Menggantungkan ketaatan pada Nash Kitabullah dan sunnah dengan “keharusan” adanya pembuktian ilmiah nantinya akan membawa kebingungan bahkan sampai pada fase “kemudhorotan” bagi kaum muslimin sendiri manakala “Dalil” ilmiah Cendikia Muslim dijawab bahkan dibantah dengan pembuktian ilmiah “Ilmuwan Kaafiriin”.
Maka sepatutnya dalam mentaati Allah dan Rasul kita berpatok pada “Nash” bukan hikmah yang tersembunyi dibaliknya.
Ingat firman Allah dalam Al Qur’an:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya :
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. “ (QS. Al Hasyr :7)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Artinya :
“Dan tidaklah patut bagi orang iman laki-laki dan tidak (pula) bagi orang iman perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzab:36). (M. Ari Sultoni, S.H.)